Jumat, 17 Desember 2010

Menuju Shalat yang Khusyu’


Sholat merupakan amal ibadah yang sudah sangat sering kita laksanakan setiap hari. Akan tetapi, seiring dengan seringnya kita melaksanakan ibadah tersebut pernahkan kita merasahan hati yang tentram dan tenang saat melaksanakannya maupun seusai itu? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk mencapai ketentraman hati sebagai atsar dari sholat yang kita lakukan.
Ikhlas
Hendaknya seseorang memiliki sifat ikhlas dalam melaksanakan sholat, karena kecintaannya kepada Allah, mengharap ridlo-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dia melaksanakannya bukan karena tendensi kepentingan dunia, akan tetapi semata-mata karena mengharap ridlo dan cinta Allah, takut pada azab-Nya, dan mengharap ampunan dan pahala dari-Nya.
Ibnu Al Qoyyim berkata, "Suatu amal tanpa didasari keihlasan dan tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasul, bagaikan seorang musafir yang mengisi tasnya dengan kerikil, yang memberatinya dan tidak memberi manfaat baginya."
Adapun rintangan dalam melaksanakan keihlasan adalah rintangan yang sulit diatasi, akan tetapi dengan keihlasan akan diperoleh sesuatu yang diinginkan, dan memberi manfaat yang sangat besar.
Ketulusan dan Kemurnian cinta kepada Allah
Dilakukan dengan cara mengosongkan hati dan memusatkan perhatian untuk menghadap Allah dan melaksanakan sholat dengan sebaik-baiknya serta menyempurnakannya baik lahir maupun batin sholat.
Sholat terbagi dalam bagian lahir dan batin. Bagian lahir adalah perbuatan yang nampak dan ucapan yang terdengar, sedang bagian batinnya adalah kekhusyu'an, muroqobah dan pengosongan hati hanya untuk menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati dan tidak berpaling kepada selain Dia. Hal ini berhubungan dengan keadaan ruh ketika sholat. Sedangkan perbuatan berhubungan dengan badan. Jika tidak terdapat ruh dalam sholat, laksana badan tanpa ruh. Tidakah seorang hamba malu menghadap Tuhannya dalam keadaan seperti ini?
Jika tiba waktu sholat seorang pencinta Tuhannya akan segara melaksanakan sholat dengan tulus untuk menyembah-Nya seperti ketulusan seorang pencinta yang benar-benar mencintai kekasihnya yang memintanya melakukan sesuatu.
Hal ini tidak cukup hanya dengan kesungguhan saja, tapi harus dengan mencurahkan semua kemampuan untuk memperbaiki, menghiasi, membenarkan, dan menyempurnakan dirinya untuk memperoleh posisi dihadapan kekasihnya, sehingga memperoleh ridlo-Nya, dan dan dekat dengan-nya. Jadi, apakah seorang hamba itu tidak malu kepada Tuhan, majikan dan Dzat yang disembahnya saat beramal melakukan dengan tidak benar. Padahal dia tahu bahwa orang yang mencintai Tuhannya senantiasa sibuk untuk memperbaiki dan menyempurnakan sholatnya, karena kecintaan mereka kepada sang Khalik.
Seorang pencinta Allah senantiasa mencintai makhluk Allah, akan tetapi dia lebih memilih mencintai Tuhannya. Seseorang yang mampu intropeksi diri dan tahu akan perbuatan-perbuatannya, dia akan malu mempersembahkan amalnya kepada Allah, atau untuk memohon ridlo-Nya dan dia akan tahu seandainya dia tergolong manusia yang mencintai Allah, niscaya Allah akan mencurahkan cinta-Nya dan senantiasa memberikan kebaikan kepadanya.
Mengikuti petunjuk Rasul SAW
Sudah menjadi kewajiban setiap musim untuk mengerjakan sholat sebagaimana yang telah dilakukan Rasul SAW tanpa melakukan pengurangan yang tidak dilakukan beliau maupun oleh para sahabat. Sebagaimana yang telah terjadi di kalangan umat manusia. Di antara mereka telah melalaikan sunnah Nabi SAW dengan dalih mengikuti madzhab tertentu. Allah tidak membenarkan perbuatan seperti ini, terutama bagi orang yang telah mengetahui sunnah Nabi SAW. Karena Allah telah memerintahkan kita hanya taat Rasul-Nya, bukan kepada yang lain. Yakni taat atas apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan perkara yang tidak beliau lakukan. Allah telah bersumpah bukan termasuk orang-orang yang beriman, hingga kita berpedoman kepada Rasul saat terjadi suatu perselisihan, hanya tunduk atas kebijaksanaan beliau, dan memeluk Islam secara keseluruhan. Kebijaksanaan yang tidak berasal dari beliau tidak akan dapat memberi manfaat kepada kita, dan juga tidak akan dapat menyelamatkan kita dari azab Allah. Dan pada hari kiamat sanggahan kita akan ditolak, tatkala Allah menanyai kita
ماذا أجبتم المرسلين
"Apakah jawabanmu kepada Rasul" (QS. Al Qoshos: 65)
Sebagaimana Allah berfirman,
"Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-rasul (Kami)." (QS.Al A’raf: 6)
Ihsan
Dalam hal ini berkaitan dengan muqorobah, maksudnya hendaknya seseorang beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Karena jika kita tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kita. Ihsan tumbuh dari kesempurnaan iman kepada Allah, asma dan sifat-sifat-Nya, hingga seseorang seolah-olah dapat melihat Allah berada di atas langit pada Arsy-Nya, memerintah dan melarang, mengatur kekhalifahan, menentukan dan meminta pertanggungjawaban setiap perkara, yang akan diperlihatkan semua perbuatan dan ruh manusia ketika menghadap kepada-Nya. Dalam hati mereka bersaksi terhadap asma dan sifat-sifat Allah, dan bersaksi bahwa Allah Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Bijaksana, Yang Memerintah dan Melarang, mencintai dan marah, dan tidak ada suatu perbuatan, perkataan, dan batin manusia yang tersembunyi dari-Nya, bahkan Dia mengetahui sesuatu yang tidak tampak oleh mata dan yang tersembunyi di dalam dada.
Ihsan merupakan pokok dari semua amal hati. Ihsan mengharuskan adanya kemuliaan, keagungan, ketakutan, kecintaan, penyerahan diri, tawakal dan kerendahan hati kepada Allah SWT, merasa hina di hadapan-Nya, menghilangkan was-was dan hawa nafsu, memusatkan hati dan niat hanya kepada Allah dan mensucikan-Nya sebagaimana yang diucapkan oleh kedua bibirnya.
Keberhasilan seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan kadar ihsan, sebagaimana perbedaan keutaman sholat antara dua orang yang diibaratkan antara langit dan bumi. Meskipun keduanya sama-sama berdiri, ruku’, dan sujud, yang membedakannya adalah hadirnya hati di hadapan Tuhannya. Sebagaimana Firman Allah mengenai gambaran orang yang lalai.
فويل للمصلين. الذين هم عن صلاتهم ساهون
“Maka celakalah bagi orang-orang yang sholat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (QS. Al-Ma'un : 4-5)
Dari Ammar bin Yasir berkata, ”Aku mendengar Rasul SAW bersabda, ’Sesungguhnya seorang hamba melakukan sholat hanya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga dan seperdua dari sholat yang diwajibkan baginya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Abu Daud dengan sanad hasan)
Bersyukur atas karunia Allah
Hendaknya seseorang mengetahui bahwa hanya karena karunia Allah yang menjadikan diri dan keluarganya mendapat posisi di hadapan-Nya, dan menjadikan hati dan badannya menjalankan perintah-Nya. Kalau bukan karena Allah maka semua itu tidak akan dapat terwujud.
Allah berfirman,
“Mereka merasa telah memberi nikmat kapadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ’Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)
Allah SWT yang telah menjadikan seorang muslim menjadi muslim, dan orang yang sholat melaksanakan sholat, sebagaimana yang dikatakan Nabi Ibrahim as.
“Ya Tuhan kami jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (Jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.” (Al-Baqoroh: 128)
“Ya Tuhanku. Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat.” (QS. Ibrahim: 40)
Hanya karena karunia Allah yang membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya dan dalam hal ini merupakan nikmat yang paling agung. Allah berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yag mengikuti jalan yang lurus." (QS. Al-Hujurat: 7)
Perkara ini merupakan perkara yang paling agung dan paling bermanfaat bagi seorang hamba. Setiap hamba yang paling tinggi ketauhidannya maka keberhasilan dalam perkara ini akan lebih sempurna. Seseorang jika telah mengetahui bahwa Allah SWT yang telah memberi karunia taufik dan hidayah kepadanya berupa pengetahuan dan amal perbuatan yang mengagumkan. Dia telah menentukan hal tersebut kepada manusia, niscaya akan hilang rasa ujub dari hati dan lisannya dan dia tidak akan mengungkit-ungkit ataupun membanggakan amalnya. Ini merupakan kedudukan amal yang tertinggi.
Merasa rendah
Seorang hamba yang bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala usahanya untuk melaksanakan suatu perintah, dia adalah orang yang memiliki keterbatasan dan Allah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu. Dia lebih layak untuk disembah dengan ketaatan dan penghambaan. Kebesaran dan keagungan-Nya menuntut adanya penghambaan yang sepantasnya. Jika hamba para raja bekerja dengan mengagungkan, memuliakan, penuh rasa malu, keluhuran, rasa takut, dan ketulusan dan memperuntukkan hati dan anggota badan hanya kepada tuannya, maka raja dari para raja, Tuhan lamgit dan bumi lebih layak untuk diperlakukan lebih dari itu semua.
Jika seorang hamba mengetahui dirinya belum menyembah Tuhannya sesuai dengan hak-Nya, maka berarti dia megetahui kekurangan dan keterbatasannya, dan dia tidak mampu melaksanakan apa yang seharusnya menjadi hak-Nya. Maka mengharapkan ampunan atas amal ibadah kepada-Nya lebih dibutuhkan dari pada memohon ampunan dari amal ibadah tersebut. Jika seseorang telah melakukan ibadah dengan benar maka ibadah tersebut sudah menjadi kebutuhannya. Pengabdian dan amal seorang hamba merupakan kewajiban kepada tuannya, apalagi sebagai hamba Allah.
Amal dan pengabdian seseorang sudah menjadi kewajibannya, karena kedudukannya sebagai hamba Allah, jika diberi pahala atas amal dan pengabdiannya, maka hal tersebut semata-mata karena keutamaan, karunia dan kebaikan Allah kepadannya, bukan sebagai hak seorang hamba.
Rasul SAW bersabda, ”Sesungguhnya tidak seorang pun akan masuk surga berdasarkan amalnya. Para sahabat berkata, ‘Tidak jugakah engkau ya Rasulullah?' Beliau menjawab, ’Dan tidak juga aku, kecuali Allah melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Ahmad, Bukhori, dan Muslim dari Aisyah ra.)
Seseorang yang mengetahui hal ini, maka berarti dia telah mengetahui rahasia dalam amal-amal ketaatan, dan menjadi keharusan baginya mengakhiri semua amalnya dengan memohon ampunan.
Dalam Shahih Muslim dari Tsauban berkata, ”Rasulullah SAW setelah salam dari sholatnya, membaca istighfar tiga kali, dan membaca doa, ’Ya Allah, Engkaulah keselamatan, dari-Mu lah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Allah berfirman,
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS.Adz-Dzariyat :17-18)
Allah mengabarkan tentang orang-orang yang memohon ampunan sesudah sholat malam, dan Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk membaca istighfar sesudah thawaf ifadhah dalam haji, dan Dia berfirman,
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Baqoroh: 199)
Disyariatkan bagi orang yang berwudlu, setelah wudlu berdo’a,
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri”.
Ini merupakan taubat sesudah wudlu, haji, sholat dan qiyamul lail.
Ringkasnya ini merupakan keadaan seorang hamba terhadap Tuhannya dalam semua amalnya, yang dia tahu bahwa dia tidak mampu memenuhi maqom ini sesuai haknya, maka dia senantiasa memohon ampunan kepada Allah sesudah melakukan semua amal perbuatan. Semakin banyak ketaatannya, maka semakin banyak pula taubat dan istighfarnya. Jika seorang hamba senang melakukan taubat dan sholat dengan tenang, maka akan membekas dalam hati, badan, dan semua tingkah lakunya, dan nampak pada wajah, lisan dan anggota badannya. Dalam hatinya timbul kecondongan kepada akhirat, menjauhi dunia, sedikit tamak pada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya maka sholatnya telah mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, senang menghadap Allah dan menghindari sesuatu yang dapat menghalanginya dari Allah.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqos ra. Berkata, “Seseorang datang kepada Nabi SAW. dan berkata, ’Ya Rasulullah, berilah aku wasiat.' Rasulullah bersabda, ‘Jangan berharap pada sesuatu yang ada pada diri manusia dan jangan bersikap tamak. Karena itu merupakan kefakiran. Sholatlah yang dengannya kamu mendapatkan ketenangan, dan janganlah kamu meninggalkannya.” (HR. al Hakim dishohihkan dan disetujui olah adz-Dzahabi)
Dari Aisyah istri Rasul berkata, “Aku bertannya kepada Rasul tentang ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu'minun: 60). Aisyah berkata, “Apakah mereka orang-orang yang minum khomr dan mencuri?” Rasul menjawab, “Bukan wahai putri ash-Shidiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, sholat, bershodaqoh, dan mereka takut tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka termasuk orang-orang yang terdahulu dalam kebaikan-kebaikan tersebut.”
(HR. Ahmad 6/159 dan 5, Ibnu Jarir 18/26, Tirmidzi 3175, al-Baghowi dalam tafsirnya 3/312, al Hakim 2/393-394, dishohihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi)
Hadits ini mengandung dua perkara sebagai berikut.
Terdapatnya keterbatasan dan kekurangan seorang hamba
Kesungguhan cinta, seorang hamba yang benar-benar mencintai dia akan mendekatkan diri pada sesuatu yang dicintainya dengan sekuat tenaga. Dia berharap dan merasa malu menghadap-Nya dengan sesuatu yang ada pada dirinya, sedangkan dia tahu yang dicintainya lebih berkuasa dan lebih agung dari dirinya. Ini merupakan bentuk kecintaan makhluk. Oleh karena itu hendaknya kita berusaha menunaikan sholat sesuai dengan kesempurnaannya secara lahir maupun batin.
Sesungguhnya dalam sholat tersebut terdapat sesuatu yang menakjubkan untuk mencegah keburukan dunia. Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah keburukan dunia dan mendatangkan kemaslahatan yang menyamai sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari dosa dan penyakit hati, menolak penyakit pada badan, menyinari hati, mencerahkan wajah, menyemangatkan anggota badan dan jiwa, mendatangkan rizki, menolak kedholiman, menolong yang terdholimi, mengekang bercampurnya syahwat, memelihara nikmat, menolak siksa, mendatangkan rahmat dan menghilangkan kesedihan. Sholat dapat menjaga kesehatan, membahagiakan jiwa, menghilangkan kemalasan, menjaga kekuatan, melapangkan dada, memelihara ruh, mendatangkan barokah, menjauhkan dari syaitan, dan mendekatkan kepada yang Maha Pengasih.
Ringkasnya dalam sholat memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam menjaga kesehatan serta kekuatan badan dan hati, menolak unsur-unsur dari keduanya, penyakit, malapetaka atau bala yang menimpa seseorang. Kecuali jika keuntungan yang diperoleh orang yang sholat tersebut sangat sedikit. Rahasia dari semua itu adalah bahwasanya sholat merupakan penghubung dengan Allah Azza wa Jalla. Akan dibuka pintu-pintu kebaikan, diputus sebab-sebab keburukan, dilimpahkan anugerah dari Tuhannya, kekuatan, kesehatan, kemanfaatan, kekayaan, ketenangan, kenikmatan, kebahagiaan dan kesenangan yang kesemuannya akan didatangkan dan segera diberikan kepada seorang hamba sesuai kadar hubungannya dengan Tuhannya.
Seorang hamba di hadapan Allah berada pada dua keadaan. Berada di hadapan Allah pada waktu sholat dan pada waktu bertemu dengan-Nya. Barangsiapa melaksanakan dengan benar pada keadaan yang pertama, maka akan dimudahkan baginya pada keadan yang kedua. Barangsiapa yang lalai dan tidak melaksanakan dengan benar, maka akan dipersulit pada keadaan yang kedua.
Allah berfirman,
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (hari kiamat).”
(QS. Al-Insan: 26-27)
Dinukil dan diterjemahkan dari kitab As-Sholah Al-Khosi’ah karya Abdullah bin Abdurrahman Al Jibroin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar